JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akan mengkaji ulang dasar hukum hibah lahan Kemayoran kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan akan menelaah kembali Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur hibah aset negara.
"Kami akan mendiskusikan ulang terkait apakah pemerintah harus meminta persetujuan DPR sebelum menghibahkan aset," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Sonny Loho di Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Saat ini, lanjut dia, Pasal 46 ayat (1) dalam undang-undang tersebut masih menjadi perdebatan.
Pasal tersebut menyatakan perlunya persetujuan DPR untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari Rp 100 miliar.
Persetujuan DPR tidak diperlukan apabila tanah dan/atau bangunan tersebut tidak sesuai dengan tata ruang wilayah kota, sudah tak masuk dalam dokumen pelaksana anggaran, diperuntukkan bagi pegawai negeri, diperuntukkan bagi kepentingan umum, dikuasai karena keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau tidak layak secara ekonomi jika dipertahankan.
"Klausul pemindahtanganan selain tanah dan bangunan senilai lebih dari Rp 100 miliar dan klausul diperuntukkan bagi kepentingan umum itu menimbulkan makna berbeda antara pemerintah dengan Komisi II DPR," kata Sonny.
Menurut Sonny, klausul pengecualian tersebut mendukung penilaian Kementerian Keuangan yang menilai hibah lahan 7,8 hektar di Kemayoran kepada Pemprov DKI Jakarta tidak memerlukan izin DPR.
Menindaklanjuti perdebatan akan klausul undang-undang tersebut, Kementerian Keuangan segera berkonsultasi dengan Mahkamah Agung.
"Karena hibah lahan ini juga berhubungan dengan pembangunan kampung atlet untuk Asian Games 2018. Ini sifatnya jangka panjang, tidak hanya untuk Asian Games," ujar Sonny.
Adapun lahan di Kemayoran akan dihibahkan pemerintah pusat kepada Pemprov DKI untuk pembangunan wisma atlet Asian Games atau apartemen D-10.
Nantinya, wisma atlet ini akan difungsikan sebagai rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) setelah Asian Games selesai.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan akan menelaah kembali Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur hibah aset negara.
"Kami akan mendiskusikan ulang terkait apakah pemerintah harus meminta persetujuan DPR sebelum menghibahkan aset," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Sonny Loho di Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Saat ini, lanjut dia, Pasal 46 ayat (1) dalam undang-undang tersebut masih menjadi perdebatan.
Pasal tersebut menyatakan perlunya persetujuan DPR untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari Rp 100 miliar.
Persetujuan DPR tidak diperlukan apabila tanah dan/atau bangunan tersebut tidak sesuai dengan tata ruang wilayah kota, sudah tak masuk dalam dokumen pelaksana anggaran, diperuntukkan bagi pegawai negeri, diperuntukkan bagi kepentingan umum, dikuasai karena keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau tidak layak secara ekonomi jika dipertahankan.
"Klausul pemindahtanganan selain tanah dan bangunan senilai lebih dari Rp 100 miliar dan klausul diperuntukkan bagi kepentingan umum itu menimbulkan makna berbeda antara pemerintah dengan Komisi II DPR," kata Sonny.
Menurut Sonny, klausul pengecualian tersebut mendukung penilaian Kementerian Keuangan yang menilai hibah lahan 7,8 hektar di Kemayoran kepada Pemprov DKI Jakarta tidak memerlukan izin DPR.
Menindaklanjuti perdebatan akan klausul undang-undang tersebut, Kementerian Keuangan segera berkonsultasi dengan Mahkamah Agung.
"Karena hibah lahan ini juga berhubungan dengan pembangunan kampung atlet untuk Asian Games 2018. Ini sifatnya jangka panjang, tidak hanya untuk Asian Games," ujar Sonny.
Adapun lahan di Kemayoran akan dihibahkan pemerintah pusat kepada Pemprov DKI untuk pembangunan wisma atlet Asian Games atau apartemen D-10.
Nantinya, wisma atlet ini akan difungsikan sebagai rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) setelah Asian Games selesai.
Penulis | : Kurnia Sari Aziza |
Editor | : Icha Rastika |